Hanya saja karena saya tidak bisa lagi mengakses dan masuk di blog itu terpaksa saya copy paste saja ke blog ini dengan Labels Cerita Fiksi atau Fictional Story. Sengaja judul dan keseluruhan cerita tidak mengalami perubahan.
Silahkan menyimak cerita selengkapnya di bawah ini.
Ilustrasi Cerita |
Andini, adik dan cintaku
Tody memarkir sepeda motornya di garasi, membuka helm,
kemudian menghampiri andini, adiknya yang sedang duduk dengan teman prianya di
beranda. Andini hanya tersenyum memandang sang kakak.
“Kak kenalkan ini teman Dini!” ujarnya manja.
Teman pria Andini saja berdiri, dengan sopan mengulurkan
tangan. Tody tidak langsung menerima uluran tangan pria tersebut, tapi malah
memperhatikan dengan tatapan kurang senang dari atas kebawah, baru menyambut
tangan pria yang ada di depannya.
“Komara,” ujar teman Andini.
Tody menatap tajam mata Komara.
“Duduknya di dalam aja, Din!” suruhnya tanpa melepas tangan
dari Komara, membuat pria tersebut agak gugup.
Tody meninggalkan Andini dan Komara di ruang tamu. Dia
masuk ke ruang keluarga, mendapati orang tuanya sedang menonton televisi.
“Siapa teman Dini itu Ma?” Tanya Tody. Dihempaskan tubuhnya
di samping sang mama. Papanya menatap sekilas ke Tody. Kemudian mengalihkan
pandangan kembali ke televisi.
“Teman kerja Dini,” jawab mama.
“Teman kerja kok datangnya malam minggu, nggak puas ketemu
tiap hari di kantor dari senin sampai jumat?” gerutu Tody sembari menyisir
rambutnya yang panjang dengan kelima jarinya.
“sepertinya dia ada hati sama adikmu.”
“Mama izinkan?”
“Ya… saling menjajaki dulu, apa salahnya Tod!”
“Jangan cepat menilai orang nanti salah lho…”
“Tody nggak pernah salah menilai orang, Ma,” jawab Tody
yakin.
Papa Tody bangkit dari duduk.
“Mau kemana, Pa? Tanya mama Tody.
“Nyuruh teman Dini pulang.”
“Lho apa-apaan kalian ini. Anaknya nggak senang, kok!
Bapaknya nyuruh pulang. Nanti dia tersinggung, Pa. Belum juga jam Sembilan.”
“Lebih baik dia tersinggung sekarang. Dari pertama Papa
melihatnya, Papa juga sudah punya penilaian yang sama dengan Tody. Biasanya
Tody nggak pernah salah menilai orang lain.”
“Ini anak sama Bapak, sama saja!” gerutu mama.
“Naluri laki-laki,” ujar Tody dan papanya serempak, sambil
toast tangan.
Papa Tody berjalan ke ruang tamu untuk menyilakan Komara pulang
dari rumah mereka.
***
“Mbak Meta,” ujar Andini, menyodorkan gagang telepon ke
Tody.
“Bilang kakak nggak ada di rumah!” jawab Tody malas.
“Tapi Dini udah bilang kakak ada, gimana tuh?”
“bilang aja nggak ada!”
“Yah… kak Tody, Dini bahong dong,” gerutu Andini,
mendekatkan lagi gagang telepon ke telinganya.
“Sori Mbak Meta, kak Tody bilang dia nggak ada,” jawab
Andini.
Jawaban Meta dari line sebelah membuat Andini kembali
menyodorkan gagang telepon ke telinga Tody.
“Katanya penting, Kak!” desak Andini.
“Ya udah bawah sini paling juga ngajak pesta lagi,” kata
Tody dingin.
Andini meletakkan gagang telepon di telinga Tody.
“kamu mau di ajak ke mana?” Tanya Tody langsung kepada Meta.
“Sori, hari minggu aku sibuk!,” tegasnya, kemudian
melambaikan tangannya ke Andini mengembalikan kembali telpon kembali ke
tempatnya semula. Andini melakukan yang di suruh Tody. Sementara Tody tetap
asyik dengan Games-nya.
“Kakak dingin banget sih dengan mbak meta, mbak Meta kan
baik banget tuh orangnya.” Komentar Andini.
“Iya, dia nggak sakit, juga belum pernah gue liat dia itu
makan sabun colek.”
“Mbak Meta juga cantik kok,”
“Masih banya yang lebih cantik dari dia.”
“Karienya bagus, penampilannya juga berkelas. Jadi, apa yang
kurang dari Mbak Meta?”
“Nggak ada,…”
“Kamu masih jalan dengan Komodo, eh… kokommu itu?” Tody
mengalihkan pembicaraan dan pertanyaan Andini yang mulai memberondongnya.
“Komara, Kak!” protes Andini.
Andini menghampiri Tody.
“Kakak nggak senang ya sama Komara?” Tanya Andini manja.
“Nggak!” jawab Tody tegas.
“Kenapa sih, kak? Kakak khan belum kenal dia,”
“Dia bukan pria baik-baik.”
“Dini jadi herang dengan kak Tody. Sepertinya nggak teman
cowok Andini yang baik di mata kakak. Dulu Herman kakak bilang nggak mandiri.
Bayu, terlalu sombong. Beny, playboy. Pram, kurang menghargai perempuan. Ilyas,
nggak punya etika. Ikhsan, sok banget. Jadi cowok yang gimana sih kak yang
cocok, yang pantas buat Dini?” Tanya Andini putus asa. Digelayutkan tangannya
ke lengan Tody.
Tody menyulut rokok, menghisapnya dan menghembuskannya
kuat-kuat, seakan ikut membuang ganjalan hatinya.
“Yang bisa menyayangi dan melindungimu!”
“Kalau Cuma itu, mereka semua juga bisa.”
“Mereka nggak tulus menyayangi dan melindungimu Din,”
“Terus, siapa dong yang bisa tulus menyayangi dan melindungi
Dini?”
“Kakak…!”
“Kakak? Tapi Kakak ‘kan nggak bisa jadi pacar Dini.”
“Bisa! Eh…,” tiba-tiba Tody gugup.
Andini menatap Tody heran.
“Maksud kak Tody apa?” tanyanya bingun.
Tody tidak menjawab pertanyaan itu. Segera dia beranjak dari
duduknya, mengacak saying rambut Andini dan berjalan menjauh meninggalkan
Andini.
“Ada-ada ajach,” desis Andini lagi yang telah duduk sendiri
di tinggal kakaknya Tody.
Ditatapnya punggung Tody yang terus berjalan keluar rumah.
Sebentar saja dia sudah menaiki sepeda motornya, menghilang di keramaian jalan
raya.
Andini masih merasa heran dengan perkataan Tody tadi.
Sebulan terakhir ini dia melihat perubahan sikap Tody. Tody
seperti agak menjaga jarak dengannya. Dia tidak lagi bersikap manis dan mesra,
dia tidak lagi memanjakan Andini, tetapi justru terlalu menjaganya, bahkan
terkesan membatasi gerak Andini. Sampai-sampai pergi dan pulang kerja pun Tody
menyempatkan untuk mengantar dan menjemput. Dan Andini menyadari, itu terjadi
setelah Komara mendekati dirinya.
***
Tody meremas rambutnya. Tampannya begitu kusut. Hatinya
benar-benar kacau. Dia begitu marah kepergian Andini dengan Komara. Dia tak
sempat mencegah. Kalau saja dia pulang lebih awal, pasti Andini tak akan sempat
pergi. Dari semua teman pria yang mendekati Andini, baru si Komara ini yang
begitu gigih dan juga berani menghadapi Tody. Dalam hati kecilnya pun,
sebenarnya Tody mengakui kalau Komara pria yang baik dan serius menyayangi
Andini, Tapi…
“Kamu kenapa sih, Tod?” Tanya mama yang duduk di samping
Tody.
Tody menghela napas. Ini kesempatan baginya untuk berterus
terang pada mama tentang isi hatinya, karena Dini tidak ada dan papa masih di
luar kota.
“Ma, ada yang ingin Tody beritahu ke Mama,” ujarnya dengan
sangat perlahan.
“Tentang apa?” Tanya mamanya.
Tody memandang mamanya serius, memegang tangan mamanya
seakan mencari kekuatan, mengatur napas sesaat dan menahan debaran jantungnya.
“Izinkan Tody untuk menikahi Dini, Ma!” ujar Tody pelan
nyaris tak terdengar, suaranya bergetar.
“Apa,!...?” Tanya mama setengah berteriak, ia sangat
terkejut mendegar ucapan Tody. “Gila kamu,!” serunya lagi tidak percaya.
Tody menatap mamanya sendu, meremasi lagi rambutnya.
“Tody mencintai Andini, ma. Sangat mencintai Dini.”
“Tapi kamu tahu itu tidak mungkin! Andini itu adik kamu!”
“Nggak, ma! Dini bukan adikku!”
“Dia adikmu Tody,! Andini itu adik kamu!”
“Nggak, ma! Dini memang dibesarkan di keluarga kita. Tapi
Dini tidak terlahir dari rahim Mama. Kita semua tahu itu kan, ma?”
“Tapi dia lahir dari hati Mama, Tod. Kamu tahu kan Mama sama
Papa sangat menyayangi Dini seperti kami menyayangimu.”
“Tapi Dini itu tetap bukan keturunan Mama dan Papa.”
“Mama nggak ngerti, bagaimana kamu bisa mencintai adikmu
sendiri. Bagaimana bisa kamu mengubah kasih sayangmu jadi cinta seperti itu.”
“Tody juga nggak ngerti, Ma! Berkali-kalli Tody berusaha
menghilangkan perasaan ini, tapi tetap nggak bisa, Ma! Apa Mama nggak merasa
heran, seumur sekarang Tody masih belum punya pacar yang serius, sementara
teman-teman Tody udah punya anak usia TK. Mama piker itu apa penyebabnya?”
“Apa nanti Mama bilang sama orang banyak, Tod? Gimana Mama
nanti mama ngomonnya sama Dini?!” ujar mama resah, tidak mampu membendung air
matanya.
Tody memeluk mamanya, memahami kegundahan hatinya.
“Maafkan Tody, Ma. Bukankah dulu Mama mengambil Dini supaya
Tody punya teman, karena sampai umur tujuh tahun Tody belum juga punya adik,
supaya Tody tidak kesepian? Sekarang, teman kecil yang Mama pilihkan, juga Tody
pilih menjadi teman hidup.”
“Tapi orang-orang pasti akan mencela kita, Tod!”
“Kalau Mama takut orang-orang akan mencela kita, Tody bisa
bawa Dini ke luar kota, bila perlu ke luar negeri sekalipun, kami bisa menikah
di sana…”
“Apa…apa…??!!!”
Tiba-tiba… gedubrak!!! Tody dan mama sangat terkejut, karena
Andini telah jatuh pingsan di belakang mereka. Percakapan terakhir Tody dan
Mama sempat terdengar oleh Andini, kerena dia tiba-tiba pulang setelah
membatalkan jalan-jalanya dengan Komara.
Keinginan Tody yang terdengar olehnya sangat mengejutkannya,
membuat gelap pandangan Andini. Bumi terasa berputar cepat dan semakin cepat,
sampai akhirnya dia tak sadarkan diri lagi.
Tody mengankat tubuh lunglai Andini ke kakamarnya, dan
merebahkannya di tempat tidur, sambil terus menyadarkannya. Sekian menit, baru
kesadaran Andini pulih, perlahan Andini membuka mata.
“Kamu sudah sadar,Din?” Tanya Tody lembut, menggenggam
tangan Andini.
Andini segera memalingkan wajahnya, menutup kembali matanya.
Dia tak ingin menatap wajah Tody dan Mama. Tiba-tiba Andini merasa seperti
orang asing. Tody… kakak satu-satunya yang begitu disayanginya, tempatnya
bermanja, tempatnya mengadu. Sekarang dirasakannya seperti orang lain yang
tidal dikenalnya. Dia pun menangis, Andini terisak-isak sendiri.
“Maafkan aku, Din… apa yang kamu dengar semuanya benar. Aku
sangat mencintaimu, tapi bukan sebagi adikku!” ujar Tody perlahan.
Andini semakin rapat menutup mata. Tak ada suara yang
terdengar tapi air matanya terus menetes.
***
Sudah tiga hari Tody tidak pulang. Tiga hari pula Andini
tidak masuk kerja. Andini menekuk wajahnya di antara kedua lututnya. Dia belum
siap menerima satu kenyataan yang sama sekali belum pernah di bayangkannya,
kalau di hanya Andini yang terlahir dari seorang ibu yang sama sekali tak
bertanggung jawab. Seorang ibu yang telah meninggalkannya begitu saja di klinik
seorang dokter yang sekarang jadi papanya. Dia juga belum siap untuk menerima
kenyataan yang lain. Kalau dia hanya terlahir dari hati sang mama yang telah
lama dia kenal sebagai bundanya, bukan dari rahimnya.
Dan Tody… baru sekarang Andini mengerti apa makna kasih
sayang yang berebihan yang ditungjukan Tody kepadanya. Dia sama sekali tidak
berpikir kalau itu suatu hal yang tidak wajar yang dilakukan oleh seorang
kakak. Selama ini Andini tak pernah berpikir apapun dengan kemanjaanya. Yang
dia tahu hanya dia suka dan teramat senang bermanja-manja dengan kakak
satu-satunya yang begitu disayanginya. Tapi ternyata….
Dari luar kamar terdengar suara langkah sepatu. Itu pasti
Tody! Biasanya kalau dia pulang, Tody akan berhenti sebentar di depan kamar
Andini, sekedar bertanya ‘sedang apa’ atau hanya melogokkan kepalanya ke dalam,
kalau kebetulan pintu kamar Andini tidak terkunci.
Tidak lama kemudian, Tody keluar dari kamar, menenteng satu
tas besar. Di punggungnya tersandang tas ransel. Tampangnya sangat berantakan,
wajahnya begitu sangat berantakan dan sangat murang. Dia tak berkata
apa-apapun, juga sama sekali tak menoleh ketika melewati Andini.
“Kat Tod,” panggil Andini sepontan, tak tahu malaikat mana
yang menyuruhnya memanggil.
Tody menghentikan langkahnya
“Kakak mau pergi?” Tanya Andini lirih.
“Ya,!” jawab Tody pelan tanpa menoleh.
“Meninggalkan Dini?”
Tody hanya menghela napas, tidak tahu harus menjawab apa.
Sebenarnya dalam hati kecilnya sangat tidak ingin meninggalkan Andini. Tapi
Tody tidak bisa berbuat apa, selain pergi. Dia tak sanggup terus berada di
rumah, berhadapan dengan orang yang sangat dicintainya tapi tak dapat
dimilikinya. Dia juga jelas tidak akan pernah sanggup melihat pria-pria
mendekati gadis tercintanya itu. Tody kembali menghela napas.
“Kakak mau pergi ninggalin Dini?” Tanya Andini lagi.
“Ya…” jawab Tody pelan.
“Kemana? Mau pergi kemana kak. Keluar kota apa keluar
negeri…?”
“Entahlah…” desis Tody.
Tody merasa hatinya makin perih dengan pertanyaan Dini. Dia
ingin berteriak mengatakan tidak akan pergi. Tapi itu jelas tidak mungkin. Mama
menentang keinginannya untuk menikahi Andini, sedangkan Andini sendiri tidak
mau menemui Tody beberapa hari belakangan ini. Dia juga tidak menghubungi Tody
selama tiga hari Tody tak ada di rumah. Dan bagi Tody, itu adalah penolakan
Andini atas cintanya. Ya. Pasti Andini sangat membecinya. Dan sebelum Tody
semakin bertambah malu dengan cintanya, ia kembali melangkah meninggalkan
Andini yang menantapnya dengan tatapan miris.
Andini masih terpaku di depan pintu memandang punggung Tody
yang kian menjauh. Dia tidak tahu harus bertindak apa. Desir aneh kembali
merayapi hatinya. Tiba-tiba Andini begitu takut kehilangan Tody. Dia merasa
sangat takut ditinggal, begitu punggung Tody hilan dari pandangannya, di balik
pintu.
“Kak Tod…!!!” teriaknya.
Tody yang telah berada di luar rumah mendengar teriakan
Andini. Dan dia menghentikan langkahnya.
“jangan pergi!” pinta Andini lirih diselah tangisnya yang
mulai menitik.
Andini berlari keluar dari rumah mendekati Tody. Lalu, tody
pun membalikkan badan, menatap sendu Andini.
“Jangan tinggalkan Dini!” lirih sekali suara Andini.
Kemudian dia melangjutkannya, “Bawa… bawa Dini… kemana pun Kakak pergi!”
ujarnya terbata dan menundukkan kepala.
Tody terhenyat, menatap Andini tidak percaya. Diletakkannya
tas dan juga ransel di rumput halaman depan rumahnya. Dengan sangat ragu-ragu
didekatinya Andini.
“Apa maksudmu, Din!” Tanya Tody setengah berbisik.
Pelang Andini mengangkat wajahnya, menatap Tody tepat ke bola
matanya.
“Jangan pernah meninggalkan Dini, Dini nggak mau dan tidak
sanggup berpisah dengan kakak!”
“Kamu… mau menerima…” belum sempat Tody melanjutkan
perkataannya. Andini langsung menjawab, “Ya,,!” jawabnya dengan di iringi
anggukan pasti.
Tody tersenyum, matanya bersinar cerah. Lembut direngkuhnya
tubuh Andini ke dalam pelukannya. Dengan sayang dibelainya rambut Andini, Aku
sangat mencitaimu, Adikku!” desisnya di hati.